Jumat, 15 November 2013

MAKALAH


  HUBUNGAN AKHLAK DENGAN IMAN DAN IHSAN

MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Akhlak II
Dosen Pengampu : Ahmad Muthohar, H., M.Ag.

Oleh:
                                  
                                    Moh Falihul Isbah                   (123111105)
                                  
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013


A.    Pendahuluan
            Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat yang penting, sebagai individu maupun masyarakat dan bangsa, sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada bagaimana akhlaknya. Apabila akhlaknya baik, maka sejahteralah lahir dan batinnya. Sebaliknya, apabila akhlaknya rusak, maka rusaklah lahir dan batinnya. Kejayaaan seseorang terletak pada akhlaknya yang baik, akhlak yang baik selalu membuat seseorang menjadi aman, tenang dan tidak adanya perbuatan yang tercela.
            Agama merupakan tujuan yang lurus (shirathal mustaqim) menuju tempat kebahagiaan, menuju tujuan manusia di dunia dan di akhirat. Iman, Islam dan Ihsan merupakan tiga unsur yang berjalin, berakhlak mulia sebagai isi ajaran Rasulullah, menjalani agama (ibadah dan amal shaleh) dengan cara yang ihsan merupakan kewajiban.
Untuk itu, dalam pembahasan berikut ini akan dibahas mengenai bagaimana pengertian Akhlak, Iman dan Ihsan? dan Bagaimana hubungan antara Akhlak, Iman dan Ihsan?.
B.     Pembahasan
a)      Pengertian Akhlak, Iman dan Ihsan
1.      Pengertian Akhlak
             Akhlak secara etimologi berasal dari kata khalaqa yang berarti mencipta, membuat atau menjadikan. Akhlak adalah kata yang berbentuk mufrad, jamaknya adalah khuluqun, yang berarti perangai, tabi’at, adat atau khalqun yang berarti kejadian, buatan, ciptaan.
             Dalam KBBI. Kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Kata akhlak walaupun terambil dari bahasa arab yang biasa diartikan tabi’at, perangai, kebiasaan, namun kata seperti itu tidak ditemukan didalam al-Qur’an. Akhlak adalah hal ihwal yang melekat dalam jiwa, dari padanya timbul perbuatan-perbuatan yang mudah tanpa dipikirkan dan diteliti oleh manusia. apabila hal ihwal atau tingkah laku itu menimbulkan perbuatan-perbuatan yang baik lagi terpuji oleh akal dan syara’, maka tingkah laku itu dinamakan akhlak yang baik. Sebaliknya, bila perbuatan-perbuatan yang buruk maka tingkah laku itu dinamakan akhlak yang buruk. Oleh karena itu, akhlak disebut tingkah laku atau hal ihwal yang melekat kepada seseorang karena telah dilakukan berulang-ulang atau terus menerus, sebab seseorang yang jarang memberikan uangnya kemudian dia memberi karena ada kebutuhan yang tiba-tiba maka orang itu tidak dikatakan berakhlak dermawan karena perbuatannya tidak melekat dalam jiwanya. Selain itu, disyaratkan timbulnya perbuatan itu dengan mudah tanpa dipikir lagi. Orang yang memaksakan diri memberikan uangnya atau memaksa dirinya diam dengan rasa berat diwaktu marah, maka tidak dikatakan bahwa orang itu berakhlak dermawan, lapang hati dan sabar.[1]
2.      Pengertian Iman
            Kata Iman (bahasa arab) adalah bentuk masdardari kata kerja (fi’il)
امن, يؤمنو ايمانا
             Dalam bahasa Indonesia kata Iman biasanya diartikan dengan kepercayaan atau keyakinan.
             Dilihat dari pengertian istilah, Iman itu paling tidak mengharuskan adanya pembenaran keyakinan akan adanya Tuhan dengan segala keesaan-Nya dan segala sifat kesempurnaan-Nya serta pembenaran dan keyakinan terhadap Muhammad Rasulullah dan risalah kerasulan yang ia bawa.[2]
             Derajat iman seseorang itu ialah tingkatan iman yang menunjukkan kebaikan atau perilaku seseorang yang dapat dilihat pada indikator-indikator sebagai berikut : kecintaan terhadap perbuatan baik dan ketidaksenangan untuk berbuat buruk, antara lain seperti suka menolong orang yang kecelakaan, meskipun karena sikap jiwa tidak selalu bisa dilihat, oleh karena indikator tersebut tidak mencerminkan yang sebenarnya, sebab ada orang yang beriman tetapi tidak beramal (fasik) dan beramal tapi tidak didasari oleh iman (munafiq). Bahkan secara tegas Rasulullah menunjukkan ciri-ciri orang munafiq, sebagai berikut:
Ø  Apabila berbicara berdusta
Ø  Apabila berjanji tidak dipenuhi
Ø  Apabila di percaya akan tetapi berkhianat
Hadist menyebutkan :
"عَنْ اَبٍيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : قالَ رَسُوْلُ الله صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَمَ : اية المنافق ثلاث : اذا حدث كذب واذا وعد اخلف واذئتمن خان "
   “ Rasulullah SAW bersabda : Tanda-tanda orang munafiq itu ada tiga, yaitu : apabila berbicara ia dusta, apabila berjanji ia mungkir janji, apabila diamanati ia khianat.” (Hadits yang disepakati oleh Bukhori dan Muslim).[3]
3.      Pengertian ihsan
Ihsan berarti berbuat baik. Orang yang ihsan disebut muhsin, bararti yang berbuat baik. Dalam hadits Rasulullah SAW, menerangkan ihsan itu ialah:

تعبدالله كأنّك تراه فان لم تكن تراه فانّه يراك ان
           
   “bahwa engkau beribadah kepada Allah seperti engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihat engkau.” (HR. Khamsah dari Umar bin Khattab).[4]

b)      Hubungan Akhlak dengan iman dan ihsan
1)      Hubungan Akhlak dengan Iman
Iman ialah mengetahui dan meyakini akan keesaan Tuhan, mempercayai adanya malaikat, mengimani adanya kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah, iman kepada para Rasul, iman kepada hari akhir dan iman kepada qada dan qadar. Untuk rukun iman yang pertama bahwa mengetahui dan meyakini akan keesaan Allah dengan mempercayai bahwa Allah memiliki sifat-sifat ynag mulia. Untuk itu manusia hendaknya meniru sifat-sifat Tuhan itu, yakni Allah SWT. Misalnya bersifat Al-Rahman dan Al-Rahim (Maha pengasih dan Maha Penyayang), maka sebaiknya manusia meniru sifat tersebut dengan mengembangkan sikap kasih sayang di muka bumi. Demikian juga jika Allah bersifat dengan Asma’ul Husna itu harus dipraktekkan dalam kehidupan. Dengan cara demikian iman kepada Allah akan memberi pengaruh terhadap pembentukan akhlak yang mulia.[5]
Demikian juga jika seseorang beriman kepada para malaikat, maka yang dimaksudkan antara lain adalah agar manusia meniru sift-sifat yang terdapat pada malaikat, seperti sifat jujur, amanah, tidak pernah durhaka dan patuh melaksanakan segala yang diperintahkan Tuhan. Hal ini juga dimaksudkan agar manusia merasa diperhatikan dan diawasi oleh para malaikat, sehingga ia tidak berani melanggar larangan Tuhan.
Demikian pula beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Tuhan , khususnya Al-Qur’an, maka dengan mengikuti segala perintah yang ada dalam Al-Qur’an dan menjauhi apa yang dilarangnya. Dengan kata lain beriman kepada kitab-kitab, khususnya Al-Qur’an harus disertai dengan berakhlak dengan akhlak Al-Qur’an seperti halnya dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya beriman kepada para rasul, khususnya kepada Nabi Muhammad SAW. juga harus disertai upaya mencontoh akhlak Rasulullah di dalam Al-Qur’an dinyatakan oleh Allah bahwa nabi Muhammad SAW itu berakhlak mulia.
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ (٤)
 “seseungguhnya engkau Muhammad benar-benar berbudi pekerti mulia.” (Q. S. Al-Qalam: 4)

Demikian pula beriman kepada hari akhir, dari sisi akhlaki harus disertai dengan upaya menyadari bahwa segala amal perbuatan yang dilkaukan selama di dunia ini akan dimintakan pertanggung jawabannya di akhirat nanti. Amal perbuatan manusia selama di dunia akan ditimbang dan dihitungb serta diputuskan dengan seadilnya. Mereka yang amalnya lebih banyak yang buruk dan ingkar kepada Tuhan akan dimasukkan ke dalam neraka, sedangkan mereka yang amalnya lebih banyak yang biak akan dimasukkan ke dalam syurga. Hal tersebut diharapkan dapat memotivasi seseorang agar selama hidupnya di dunia ini banyak melakukan amal yang baik, menjauhi perbuatan dosa dan ingkar kepada Allah.
Selanjtnya beriman kepada qada dan qadar juga erat kaitannya dengan akhlak, yaitu agar orang yang percaya kepada qada dan qadar itu seanantiasa mau bersyukur terhadap keputusan Tuhan dan rela menerima segala keputusan-Nya. Perbuatan demikian termasuk ke dalam akhlak yang mulia.[6]
2)      Hubungan Akhlak dengan Ihsan
Ihsan dalam arti akhlak mulia atau pendidikan akhlak mulia sebagai puncak keagamaan dapat dipahami dari beberapa hadits terkenal seperti “sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak dan budi pekerti baik”.
Ihsan secara lahiriyah melaksanakan amal kebaikan. Ihsan dalam bentuk lahiriyah ini, jika dilandasi dan dijiwai dalam bentuk rohaniyah (batin) akan menumbuhkan keikhlasan. Beramal Ihsan yang ikhlas membuahkan taqwa yang merupakan buah tertinggi dari segala amal ibadah kita. Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan mencapai tingkat Ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan Rasul dalam salah satu haditsnya. Pada akhirnya ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan maka ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya.
Adapun landasan Syar’i ihsan yaitu:
وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (١٩٥)
Dan berbuat baiklah kalian karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-Baqarah: 195)

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk berbuat adil dan kebaikan....”. (QS. An-Nahl :90)[7]

C.    Kesimpulan
Akhlak, Iman, dan Ihsan  merupakan serangkai yang tidak boleh terpisah dalam kerangka agama Islam sesuai dengan bunyi  tentang pengertian Akhlaq, Iman dan Ihsan. Maksudnya kesempurnaan agama (Islam) terletak pada tiga sendi, yaitu Akhlaq, Iman dan Ihsan. Seorang Islam dapat dikatakan sebagai muslim yang hakiki bila ia dapat mengumpulkan dalam dirinya ketiga sendi tersebut.
Dengan demikian, untuk melihat kuat atau lemahnya Iman  dapat diketahui melalui tingkah laku (akhlak) seseorang, karena tingkah laku tersebut merupakan perwujudan dari Imannya yang ada di dalam hati. Jika perbuatannya baik, pertanda ia mempunyai Iman yang kuat, dan jika perbuatannya buruk maka dapat dikatakan ia mempunyai Iman yang lemah. Islam menjadikan akhlak yang baik sebagai bukti dan buah dari ibadah kepada Allah SWT. Misalnya: shalat, puasa, zakat dan haji.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara 2010.
Asmaran As. Pengantar Studi Akhlak. Semarang: Pustaka Rizki Putra 2007.
Ahmadi, Abu, Noor Salimi. MKDU Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tingg. Jakarta: PT. Bumi Aksara,2008.
Nata, Abuddin.  Akhlak Tasawuf.  Jakarta: Rajawali Press. 2009.





                [1] Zainuddin Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara 2010), hal. 29-30
[2] Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak,(Semarang, Pustaka Rizki Putra 2007) hlm. 68-71.
                [3] Abu Ahmadi, Noor Salimi, MKDU Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: PT. Bumi Aksara,2008), hlm. 229
                4 Abu Ahmadi, Noor Salimi, MKDU Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: PT. Bumi Aksara,2008), hlm.199-200
                5 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, hlm. 26




                [5] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 22
                [6] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, hlm. 26
 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar